Rabu, 20 Maret 2013

7 Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional


Proclaimed in Vienna in 1965, the seven Fundamental Principles bond together the National Red Cross and Red Crescent Societies, The International Committee of the Red Cross and the International Federation of the Red Cross and Red Crescent Societies. They guarantee the continuity of the Red Cross Red Crescent Movement and its humanitarian work.
Diproklamasikan di Wina pada tahun 1965, Tujuh Prinsip Dasar kesepakatan bersama Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, Komite Internasional Palang Merah dan Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Mereka menjamin kelangsungan Palang Merah dan Gerakan Bulan Sabit Merah pada pekerjaan kemanusiaan.



Kemanusiaan /Humanity
The International Red Cross and Red Crescent Movement, born of a desire to bring assistance without discrimination to the wounded on the battlefield, endeavours, in its international and national capacity, to prevent and alleviate human suffering wherever it may be found. Its purpose is to protect life and health and to ensure respect for the human being. It promotes mutual understanding, friendship, cooperation and lasting peace amongst all peoples.
Gerakan Palang Merah dan Bulan sabit Merah Internasional didirikan berdasarkan keinginan memberi pertolongan tanpa membedakan korban yang terluka di dalam pertempuran, mencegah dan mengatasi penderitaan sesama manusia. Palang Merah menumbuhkan saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian abadi bagi sesama manusia.

Kesamaan/ Impartiality
It makes no discrimination as to nationality, race, religious beliefs, class or political opinions. It endeavours to relieve the suffering of individuals, being guided solely by their needs, and to give priority to the most urgent cases of distress.
Gerakan ini tidak membuat perbedaan atas dasar kebangsaan, kesukuan, agama atau pandangan politik. Tujuannya semata-mata mengurangi penderitaan manusia sesuai dengan kebutuhannya dan medahulukan keadaan yang paling parah.

Kenetralan/ Neutrality
In order to continue to enjoy the confidence of all, the Movement may not take sides in hostilities or engage at any time in controversies of a political, racial, religious or ideological nature.
Agar senantiasa mendapat kepercayaan dari semua pihak, gerakan ini tidak boleh memihak atau melibatkan diri dalam pertentangan politik, kesukuan, agama atau ideologi.

Kemandirian/ Independence
The Movement is independent. The National Societies, while auxiliaries in the humanitarian services of their governments and subject to the laws of their respective countries, must always maintain their autonomy so that they may be able at all times to act in accordance with the principles of the Movement.
Gerakan ini bersifat mandiri. Perhimpunan nasional disamping membantu Pemerintahnya dalam bidang kemanusiaan, juga harus mentaati peraturan negaranya, harus selalu menjaga otonominya sehingga dapat bertindak sejalan dengan prinsip-prinsip gerakan ini.

Kesukarelaan/ Voluntary service
It is a voluntary relief movement not prompted in any manner by desire for gain.
Gerakan ini adalah gerakan pemberi bantuan sukarela, yang tidak didasari oleh keinginan untuk mencari keuntungan apa pun.

             Kesatuan/ Unity

There can be only one Red Cross or one Red Crescent Society in any one country. It must be open to all. It must carry on its humanitarian work throughout its territory.
Di dalam suatu negara hanya ada satu perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang terbuka untuk semua orang dan melaksanakan tugas kemanusiaan di seluruh wilayah.

Kesemestaan/ Universality
The International Red Cross and Red Crescent Movement, in which all Societies have equal status and share equal responsibilities and duties in helping each other, is worldwide. Read more about the principle of Universality.
Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional adalah bersifat semesta. Setiap Perhimpunan Nasional mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam menolong sesama manusia.

Mengenal Palang Merah dan Bulan Sabit Merah International



PALANG MERAH INTERNASIONAL
Pada tanggal 24 Juni 1859 di kota Solferino, Italia di sana dalam rangka perjalanannya untuk menjumpai kaisar Perancis, Napoleon III. Utara, pasukan Perancis dan Italia sedang bertempur  melawan pasukan Austria dalam suatu peperangan yang mengerikan. Pada hari yang sama, seorang pemuda warga Negara Swiss, Henry Dunant: berada Puluhan ribu tentara terluka, sementara bantuan medis militer  tidak  cukup   untuk  merawat  40.000 orang yang menjadi korban  pertempuran  tersebut.     Tergetar  oleh penderitaan  tentara yang terluka , Henry Dunant  bekerja sama dengan penduduk setempat, segera bertindak mengerahkan bantuan untuk menolong mereka.

Jean Henry Dunant


Setelah kembali ke Swiss, dia menuangkan kesan dan pengalaman tersebut ke dalam sebuah buku berjudul “Kenangan dari Solferino”, yang menggemparkan seluruh Eropa. Dalam bukunya, Henry Dunant mengajukan dua gagasan;
Pertama,  membentuk organisasi kemanusiaan internasional, yang dapat dipersiapkan pendiriannya pada masa damai untuk menolong para prajurit yang cedera di medan perang.
Kedua,  mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan perang serta perlindungan sukarelawan  dan organisasi  tersebut pada waktu memberikan  pertolongan  pada saat perang.
Pada tahun 1863, empat orang warga kota Jenewa bergabung dengan Henry Dunant untuk mengembangkan gagasan pertama tersebut.  Mereka lebih dikenal dengan “komite lima” yang terdiri dari :
Gustave Moynier --> Ketua
Henry Dunant --> Sekretaris
Jenderal Guillaume --> Anggota
Henri Dufour -->  Anggota
dr. Louis Appia -->  Anggota
dr. Theodore Maunoir --> Anggota
Mereka  bersama-sama membentuk “Komite internasional untuk bantuan para tentara yang cedera”, yang sekarang  disebut Komite Internasional Palan Merah atau International Committee  of the red cross (ICRC).
Dalam perkembangannya  untuk  melaksanakan  kegiatan kemanusiaan di setiap Negara, maka didirikanlah organisasi sukarelawan yang bertugas untuk membantu bagian medis angkatan darat pada waktu perang. Organisasi tersebut sekarang dikenal dengan nama Perhimpunan Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah. Berdasarkan  gagasan kedua, pada tahun 1864, atas prakarsa pemerintah federal Swiss diadakan Konferensi Internasional yang dihadiri beberapa Negara untuk menyetujui adanya “Konvensi perbaikan kondisi prajurit yang cedera di medan perang”. Konvensi ini disempurnakan dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa I, II, III dan IV tahun 1949 atau dikenal sebagai Konvensi Palang Merah. Konvensi ini merupakan salah satu komponen dari Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) merupakan suatu ketentuan internasional yang mengatur perlindungan dan bantuan korban perang.

LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA PALANG MERAH
Berdirinya Palang Merah dan Bulan Sabit Merah sebagai lembaga kemanusiaan dilatarbelakangi  oleh  sentuhan  batin  terhadap penderitaan yang  dialami prajurit di medan  pertempuran.     Penderitaan  prajurit-prajurit yang    luka  karena tidak adanya  perawatan, kurangnya logistik  dan kejamnya perang itu sendirilah yang  menyebabkan tergugahnya nurani orang-orang yang memiliki rasa kemanusiaan.
Dua medan  pertempuran  yang  amat terkenal   pada abad  ke – 19 adalah perang “KRIM” dan perang  “SOLFERINO” dan tercatat sebagai perang yang sangat menyeramkan .  perang inilah  yang  telah melahirkan   inspirasi terbentuknya  lembaga kemanusiaan yang sekarang dikenal dengan nama PALANG MERAH atau BULAN SABIT MERAH.

PERANG KRIM
‘KRIM’ adalah nama semenanjung di Laut Hitam termasuk wilayah Rusia.  Dinamakan perang KRIM karena di semenanjung inilah terjadi perang dahsyat antara Rusia melawan Turki yang dibantu oleh Inggris dan Perancis. Rusia adalah sebuah negara besar dan mempunyai angkatan laut yang kuat tetapi tidak memiliki pelabuhan yang baik, sehingga sulit bagi Negara tersebut mengendalikan armadanya. 
Pelabuhan yang baik terletak di Laut Tengah tetapi pintu gerbang ke Laut Tengah itu dikuasai oleh Turki. Oleh karena itu Rusia ingin menghancurkan Turki   agar   dapat   menduduki   Selat  Bosporus, Laut  Marmora, Selat   Dardanela dan  Konstantinopel yang  merupakan jalan masuk ke Laut Tengah. Dengan berkedok sebagai pimpinan agama Katolik Yunani, Rusia menuntut kepada Turki memberikan hak pelindung kepada Rusia bagi kepentingan rakyat Turki  yang beragama Katolik Yunani.  Jelas Turki menolak permintaan itu, walaupun  waktu itu Turki berada dalam kondisi yang sangat lemah.
Mengingat Inggris dan Perancis sama-sama mempunyai kepentingan di Laut Tengah, permintaan  Rusia terhadap  Turki tersebut jelas merupakan ancaman  yang patut dicegah. Dengan  demikian Inggris  dan  Perancis serta merta   menyatakan akan membantu  Turki.  Disamping itu  Sardinia juga ingin bergabung agar pada saatnya nanti Perancis  diharapkan dapat pula membantu  Sardinia  membebaskan negaranya dari cengkraman musuhnya yaitu  Austria.
Inggris dan Perancis yang cemas terhadap ancaman  Rusia  yang telah  mengatur strategi untuk menguasai  Selat  Dardanela, yang tentunya akan berpengaruh terhadap situasi Laut Tengah.  Inggris  dan  Perancis mempunyai  kepentingan politik dan ekonomi  terhadap Negara jajahannya, serta merta memaklumatkan perang terhadap  Rusia  pada bulan Maret  1854 yang mau tidak mau melibatkan  Turki.
Perang  yang terjadi secara mendadak  itu jelas tidak didukung oleh kesiapan yang sempurna pada kedua pihak terutama logistik, fasilitas kesehatan dan tenaga medis.  Kesulitan lebih dirasakan oleh  Militer Inggris  karena jarak medan pertempuran pusat pemerintahannya cukup  jauh.  Disisi lain kesulitan yang dirasakan  oleh pasukan  sekutu (Inggris, Perancis dan  Turki)  ialah bahwa rumah sakit  yang diandalkan untuk kepentingan perawatan  letaknya jauh di pantai utara Turki, yakni di Scuturi.  Satu-satunya alat transportasi yang dapat digunakan ialah angkutan laut.   Memang terdapat barak-barak penampungan di garis depan (Sebastapol) tetapi jelas tidak memadai  baik tempat tidur, tenaga medis  maupun  obat-obatan serta logistic lainnya.
Demikian menyedihkan keadaan  di  medan  pertempuran  Sebastapol  sehingga  para  prajurit yang menghembuskan  nafas karena  kurangny perawatan dan logistik  mencapai 60% dari mereka yang sakit dan luka.  Berita yang sangat memilukan hati yang disiarkan oleh surat  kabar The Times benar-benar menyentuh perasaan wrga Inggris, terutama wanita yang dengan mudah membayangkan betapa menderitanya putera-putera  mereka yang bertempur di negara  orang.    Di medan pertempuran inilah terkenal pengabdian seorang gadis perawat  berkebangsaan Inggris yang  bernama  Florence Nightingale.

FLORENCE NIGHTINGALE
Florence adalah anak dari keluarga  bangsawan bernama  William Edward  Shore dengan istrinya  yang  bernama  Frances Smith berkebangsaan Inggris, lahir tanggal 12 Mei  1820 di Kota Florence Italia sewaktu orang tuanya tinggal disana.  Nama “Florence”, diambil dari nama kota dimana ia dilahirkan, sedangkan “Nightingale” berasal dari nama paman ayahnya.  Setelah 3 tahun berada di Italia, keluarga Edward kembali ke Inggris, dan pada waktu itu Florence berumur 1 tahun.

Florence Nightingale

Walau berasal dari keluarga bangsawan, Florence lebih suka bergaul dengan anak-anak rakyat  biasa dan suka menolong orang yang tengah berada dalam kesusahan, termasuk  di  daerah kumuh.  Didorong oleh kepribadian itulah maka Florence  memilih pendidikan  pada  sekolah perawat dan bukan  di sekolah yang  disediakan  untuk anak-anak keluarga bangsawan.   Padahal waktu itu profesi sebagai perawat  masih dianggap pekerjaan yang hina, lebih-lebih bagi anak bangsawan.
Pada saat Florence mengabdi sebagai perawat  di rumah sakit, ia mendengar berita betapa hebatnya  penderitaan prajurit Inggris di medan  pertempuran Krim.  Berita ini langsung menyentuh hatinya dan oleh  karena  itu  ia menetapkan hatinya untuk pergi ke medan tempur Krim  guna  membantu sesuai dengan profesinya  sebagai seorang perawat.
Florence mengajukan permohonan kepada Mentri Peperangan Inggris  bernama Sydney  Herbert  yang  kebetulan kenal baik  dengan Florence, dan permohonan dikabulkan.  Untuk itu Sydney Herbert terlebih dahulu dengan resmi membentuk Kesatuan Perawat yang bertugas untuk Rumah Sakit Militer dan mengangkat Florence sebagai pengawas bagi perawat wanita.
Tanggal 21 Oktober 1954, dengan menumpang kapal laut, Florence berangkat menuju  Laut Hitam bersama dengan teman-teman wanitanya yang dipilih sendiri sebanyak 38 orang terdiri dari 14 orang perawat professional dan 24 orang berasal dari instansi keagamaan seperti  Biarawati Katolik Romawi,  Deacones, Perawat Wanita Rumah Sakit Protestan  atau Anglican Sisters.   Mereka tiba di Scuturi  pada tanggal 4 November 1854 setelah terlebih dahulu singgah di Paris melalui  Baulogne dan terus ke  Constantinopel.  Di rumah sakit Scuturi inilah Florence  bersama-sama perawat lainnya membantu prajurit yang luka dan sakit walaupun dalam keadaan serba  kekurangan. Setelah Florence dan teman-temannya  sampai di Scuturi dan ngan keadaan yang  sudah sedemikian  rupa,  mereka  langsung menjalankan tugas  dengan memberikan pelayanan  kesehatan bagi  prajurit yang luka   atau cedera, yang baru saja diangkut dari medan pertempuran.
Florence menjalankan 24 jam setiap hari dengan istirahat sebisanya. Pada malam hari sebelum tidur, ia lebih dahulu berkeliling  memeriksa pasien dengan menenteng lentera di tangan  sehingga ia  terkenal dengan “The Lady With The Lamp” .
Florence,  yang setiap  saat berada  dalam suasana prihatin telah menetapkan tekadnya untuk tidak membiarkan seorang prajuritpun  menghembuskan nafas terakhir tanpa ia saksikan sendiri.   Selama musim dingin Florence telah melepas kepergian sebanyak 2000 orang pasien untuk selama-lamanya.
Demikian hebatnya pertempuran dan demikian beratnya penderitaan serta ditambah wabah penyakit menular seperti kholera dan sebagainya, hingga membuat banyak dokter yang bertugas pada waktu itu juga menghembuskan nafas terakhir dalam suasana yang memilukan.
Setelah penanganan perawatan di Scuturi berjalan agak teratur, Florence juga pergi ke Sebastapol untuk melihet secara langsung perawatan terhadap prajurit di garis depan yaitu pelabuhan Balaclava di semenanjung Krim.   Dari pelabuhan Balaclava inilah pada tanggal 6 November  1854  sebuah kapal penuh dengan prajurit Inggris yang  luka dan sakit, berlayar menuju Rumah Sakit Scuturi.   Oleh karena penderitaan yang amat  berat, diperjalanan banyak  dari prajurit yang  meninggal.  Selanjutnya setelah meninjau keadaan dan tinggal beberapa hari di Sebastapol Florence kembali  ke  Scuturi, tempat dimana ia menetap sampai saat berakhirnya perang.
Akhirnya peperangan dapat diselesaikan  setelah berlangsung selama kurang lebih 2 tahun dengan perundingan  perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 30 Maret 1856 di Paris,  dimana Rusia mengaku kalah.
Dalam bulan Juni 1856 Angkatan Perang Inggris akan ditarik kembali. Tetapi Florence belum mau ikut sebelum rumah sakit benar-benar kosong dari penderita.  Tanggal 16 Juli 1856 barulah pasien terakhir meninggalkan rumah sakit dan tugas Florence selesai.
Setelah prajurit Inggris kembali ke tanah airnya, Pemerintah Inggris merencanakan akan menjemput Florence secara khusus dengan sebuah Kapal Perang, tetapi Florence sendiri tidak menginginkan cara yang demikian, bahkan ia pulang dengan menumpang  kapal dagang Perancis, ditemani oleh bibinya, Ny. Mai Samuel Smith dan mengganti namanya dengan Nona Smith sebagai samaran agar tidak diketahui pada tanggal 7 Agustus 1856 secara diam-diam Florence sampai di rumah orang tuanya Hurst. 
Sebagai    seorang   pahlawan   kemanusiaan,  Florence  mendapat berbagai  tanda penghargaan dari kerajaan Inggris.    Sebelum meninggalkan Scuturi menuju tanah  airnya  Florence terlebih dahulu sempat membangun sebuah tugu peringatan didekat  Scuturi yang dibiayai dengan uangnya sendiri.
Pada pasca perang Solferino tahun 1859, Florence sempat menyatakan pendapat dari persetujuannya terhadap ide Henry Dunant untuk mendirikan perhimpunan internasional guna menolong orang-orang  yang  luka  di  medan  pertempuran  walaupun pada mulanya  ia  beranggapan tidak mungkin terwujud. Florence meninggal tanggal 13 Agustus 1910 di Inggris.